PELAJAR UNJUK RASA, GURU BISA APA?

Pekalongan, 3 september 2025

 

Pada 25 Agustus hingga awal September 2025, unjuk rasa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Unjuk rasa dan kerusuhan juga terjadi di Kota Pekalongan. Sabtu, 30 Agustus 2025 adalah hari penuh duka karena kerusuhan mengakibatkan terbakarnya gedung sekretariat dewan dan sekretariat pemerintah kota. Lebih mirisnya lagi, aksi perusakan dan penjarahan aset pemerintah Kota Pekalongan itu melibatkan anak-anak alias pelajar.

 

Beberapa alasan pemicu pelajar mengikuti aksi unjuk rasa dapat dilihat berdasarkan aspek psikologis, teknologi dan lingkungan pergaulan, serta sosial politik. Faktor psikologis dapat digambarkan bahwa konformitas dengan kelompoknya dipandang sebagai bentuk kesetiakawanan, sehingga atas dasar tersebut mereka berangkat ikut unjuk rasa karena takut tidak disebut sebagai bagian dari kelompoknya. Sebagai pribadi yang sedang mencari jati diri, para pelajar memiliki rasa penasaran dan ingin mencoba pengalaman baru juga menjadi alasan. Beberapa pelajar bahkan mengaku hanya ingin merasakan sensasi demo, seperti melihat keseruan kerumunan, tembakan gas air mata, tanpa memahami substansi dari aksi tersebut.

 

Faktor teknologi dan lingkungan memberikan kontribusi besar terhadap kepesertaan pelajar berunjuk rasa. Media sosial memiliki peran kuat dalam mempengaruhi pelajar. Ajakan melalui platform seperti TikTok serta konten provokatif yang tersebar cepat menjadi pemicu utama. Sebagian ahli menilai bahwa kegagalan institusi publik dalam menyediakan ruang partisipasi politik yang aman bagi kaum muda mendorong pelajar mencari cara lain untuk menyuarakan aspirasi mereka, seperti melalui demonstrasi.

 

Pendapat lain menyatakan bahwa partisipasi pelajar menunjukkan adanya kesadaran politik yang mulai tumbuh. Mereka ingin menyuarakan aspirasi dan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil dan elit politik yang berkinerja buruk. Namun, pemahaman mereka terhadap isu yang disuarakan sering kali belum mendalam dan komprehensif. Selain dari pada itu, faktor keluarga juga menjadi pemicu pelajar ikut demonstrasi. Beberapa kajian menunjukkan adanya korelasi antara kondisi ekonomi keluarga atau keluarga yang disfungsional dengan mayoritas pelajar yang terlibat.

Pertanyaan yang mengemuka saat ini adalah bagaimana guru bisa berbuat dalam menyikapi maraknya pelajar mengikuti unjuk rasa?

Guru harus tegas melarang muridnya mengikuti unjuk rasa. Larangan ini harus disertai dengan pengawasan dan pemantauan yang cukup bersama orang tua. Terutama sekali sebelum dan pada saat terjadinya unjuk rasa. Dalam konteks pembelajaran, guru perlu menyediakan forum atau mimbar yang aman bagi pelajar untuk menyampaikan aspirasi baik lisan maupun tertulis, baik dalam simulasi maupun kegiatan yang sebenarnya. Pelajar tidak perlu turun ke jalan namun cukup di sekolah dalam menyalurkan petisinya.

Penting juga menjadi perhatian bahwa pelajar sering terprovokasi oleh konten media sosial. Untuk itu guru harus hadir di ruang-ruang virtual untuk memberikan edukasi. Guru juga harus mampu membuat konten yang menyejukkan, membangun semangat untuk berprestasi dan bukan sebaliknya konten yang mengandung unsur kebencian dan membakar anarkisme. Guru harus menerapkan keteladanan kepada pelajar, membimbing dan mendidik anak dengan asah, asih, dan asuh.

Jika pelajar terlibat dalam unjuk rasa dan ditangkap aparat penegak hukum, mereka harus didampingi orang tua. Dalam situasi seperti ini Guru harus satu pandangan dengan orang tua dalam memberikan perlindungan anak. Penting juga dilakukan, guru dan satuan pendidikan merancang dan melakukan pendampingan psikologis kepada para pelajar.

Guru, baik personal maupun secara kelembagaan (satuan pendidikan, pemerintah, dan organisasi profesi) perlu bersinergi membangun ekosistem pendidikan yang berjiwa reflektif, partisipatif, dan humanis. Dunia pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai, karakter, dan kemampuan berpikir kritis yang beretika.

Para pelajar yang hari ini berdiri di persimpangan antara rasa ingin tahu dan pengaruh lingkungan harus diarahkan untuk memahami bahwa suara mereka sangat penting, namun harus disalurkan dengan cara yang santun, cerdas, dan bermartabat. Guru berperan penting membuka ruang dialog di sekolah agar pelajar merasa didengar dan dihargai pendapatnya, tanpa harus turun ke jalan dan mengambil risiko yang tidak perlu.

Pemerintah Kota Pekalongan bersama dunia pendidikan perlu memperkuat program literasi digital, pendidikan karakter, dan kepemimpinan pelajar. Ruang aspirasi pelajar harus hadir nyata — bisa berupa forum OSIS tematik, diskusi kebijakan sekolah, hingga kegiatan “parlemen pelajar” di tingkat kota. Melalui ruang ini, pelajar dapat belajar menyampaikan pendapat dengan cara yang beradab dan konstruktif.

Di sisi lain, guru harus menjadi panutan moral dan intelektual, bukan sekadar pengajar. Keteladanan guru dalam bersikap bijak, berkomunikasi santun, dan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan akan menjadi cermin nyata bagi peserta didik.

Aksi unjuk rasa yang melibatkan pelajar harus menjadi momentum refleksi — bahwa ada hal yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan, dalam relasi guru dan murid, serta dalam literasi sosial anak-anak kita. Pekalongan membutuhkan sekolah-sekolah yang tidak hanya melahirkan siswa cerdas, tetapi juga pelajar berkarakter, beriman, dan berdaya dalam berpikir serta bertindak.

Karena pada akhirnya, kemajuan Kota Pekalongan tidak akan ditentukan oleh banyaknya gedung megah yang dibangun, melainkan oleh seberapa kuat nilai dan karakter generasi mudanya.
Dan di situlah peran guru menjadi tak tergantikan — sebagai penjaga moral, penuntun arah, dan penanam harapan bagi masa depan bangsa.

 

Pict : id.pinterest.com

 

Scroll to Top